Sejarah Kerajaan Aceh
 ©wikipedia.org
©wikipedia.org 
Setelah jatuhnya Kerajaan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, 
pusat perdagangan Islam kembali ke wilayah Aceh. Awalnya Aceh dikuasai 
Kerajaan Pedir, namun setelah Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis, 
banyak pedagang Islam dari Malaka yang pindah ke Aceh. Dari sebab inilah
 terbentuk kerajaan Islam di Indonesia selanjutnya yang dikenal dengan 
Kerajaan Aceh. Bahkan kapal-kapal dari Asia Selatan tidak lagi singgah di Malaka 
karena pemerintah Portugis di Malaka menjalankan monopoli dana memungut 
bea pajak dan cukai yang cukup tinggi.
Kehidupan Politik Kerajaan Aceh
Pada masa itu, Aceh mampu menghimpun kekuatan dan mendapatkan 
kemerdekaan dari Pedir. Raja pertama Kerajaan Aceh adalah Raja Ibrahim 
yang bergelar Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1528). Sebagai negara 
yang mandiri, Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang berkembang pesat.
Pada tahun 1515 dan 1529, Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka 
dengan bantuan dari Kerajaan Demak, akan tetapi tidak berhasil. Hal 
tersebut diakibatkan oleh armada Kerajaan Aceh waktu belum kuat.
Pada tahun 1528, Sultan Ali Mughayat Syah meninggal, ia kemudian 
digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Salahuddin (1528 – 1537) 
yang kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Alauddin 
Ri’ayat Syah (1537 – 1568). Ia berusaha mengembangkan kerajaannya dan 
menduduki Sumatra sebelah barat sampai Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatra 
bagian timur sampai Danau Toba. Pada pertengahan abad ke-16, Kerajaan Aceh menduduki daerah-daerah di
 Semenanjung Malaka. Karena kegagahan dan keberhasilannya menguasai 
wilayah-wilayah yang luas, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah diberi gelar Al Qahhar yang berarti gagah perkasa.Tahun 1568 dengan bantuan Turki, Kerajaan Aceh melancarkan serangan 
terhadap Portugis di Malaka namun belum membuahkan hasil. Selanjutnya, 
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh putranya Sultan Husin (1568
 – 1575).
Raja selanjutnya berturut-turut adalah Sultan Alauddin Mansyur Syah 
(1577 – 1586), Raja Buyung (1586 – 1588) dan Sidi Al Mukamil (1588 – 
1604). Sultan Sidi Al Mukamil dikenal dengan sultan yang sangat alim dan
 halus budi bahasanya. Selain itu, pada masa pemerintahannya hidup 
seorang laksamana dan pahlawan wanita, yakni Laksamana Malahayati. Usia Sultan Sidi Al Mukamil yang sudah tua menyebabkan beliau 
menyerahkan tahta Kerajaan Aceh kepada putranya yang bernama Sultan 
Kuasa Muda yang bergelar Sultan Ali Ri’ayat Syah (1604 – 1607). Pada 
masa itu semangat untuk melawan kekuasaan Portugis di Malaka menyala dan
 terus berkobar. Tahun 1585, Portugis akhirnya merang Kerajaan Aceh 
dipimpin oleh Jorge Tumodo Homes dan Don Joao Ribeiro Gaio tetapi gagal.
Tahun
 1607, Sultan Ali Ri’Ayat Syah digantikan Darmawangsa Tun Pangkat yang 
bergelar Sultan Iskandar Muda dan memerintah tahun 1607 – 1636. Iskandar
 Muda menjadikan Kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya dan memperluas
 wilayah kekuasaan hingga ke Johor, Perlak, Pahang, Bintan, Nias dan 
Deli.
 Tahun 1629, Kerajaan Aceh di bwa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 
mencoba kembali menyerang Malaka. Sebanyak dua kali, Kerajaan Aceh 
mendapat bantuan dari Kesultanan Demak (Pangeran Sabrang Lor tahun 1512;
 Ratu Kalinyamar tahun 1550 dan 1574), tetapi sayangnya serangan ini 
juga tidak berhasil.Sebagai seorang Sultan di Kerajaan Aceh yang besar, Sultan Iskandar 
Muda mempunyai tiga cita-cita besar untuk kemajuan Kerajaan Aceh.
- Beliau ingin membesarkan kerajaan Aceh
- Beliau ingin menyebarkan Agama Islam di mana-mana
- Beliau ingin mengusir bangsa Portugis dari Malaka.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh
Dalam bidang Ekonomi, Kerajaan Aceh sangat beruntung karena letaknya 
sebagai pusat perdagangan Internasional dan kekayaan alamnya sebagai 
penghasil lada yang cukup besar. Misalnya Aceh,Perlak, dan sekitarnya 
sebagai penghasil lada yang cukup beras, kemenyang; Pahang sebagai 
penghasil timah; Minangkabau sebagai penghasil emas dan perak; serta 
Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Aceh mengimpor porselen dan sutra dari China, kain dari India, dan 
minyak wangi dari Timur Tengah. Dengan adanya kegiatan ekspor dan inpor,
 maka perekonomian di Aceh terus mengalami perkembangan.
Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Aceh
Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat Kerajaan Aceh mengenal tiga
 golongan masyarakat. Sultan dan keluarganya adalah golongan atas yang 
di bawahnya terdapat golongan bangsawan, pejabat tinggi pemerintah pusat
 maupun daerah serta para uleebalang. Pada umumnya, mereka memakai gelar teuku. Sementara para bangsawan di
 darah-daerah pantai timur biasa memakai gelar tengku karena mendapat 
pengaruh dari Melayu. Kemudian di bawah kaum bangsawan adalah golongan 
rakyat kebanyakan. 
Corak kehidupan masyarakat Kerajaan Aceh sangat kental dengan adat 
istiadat dan agama Islam sehingga para ulama berpengaruh besar dalam 
kehidupan masyarakat. Dalam bidang filsafah, agama, dan sastra Aceh, muncul beberapa ulama 
besar yang terkenal zaman itu seperti Hamzah Fansuri. Ia menulis 
buku-buku tentang filsafah agama Islam dan syair-syair keagamaan, serta 
mengajarkan ilmu tasawuf yang dipengaruhi oleh ulama-ulama besar dari 
Iran.
Muridnya yang turut mengajarkan ajaran-ajarannya misalnya Syamsuddin 
Pasai. Selain itu, terdapat seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar
 Raniri yang merupakan pengarang buku Bustanus Salatin (Taman 
Raja-Raja) buku ini berisi tentang ajaran-ajaran keagamaan, kesusilaan, 
dan sejarah. Nuruddin Ar Raniri juga membentangkan adat istiadat 
suku-suku Aceh dan ajaran-ajaran agama Islam yang ditulis dalam bahasa 
Melayu.
Kemunduran Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh dimulai saat Iskandar Muda digantikan oleh 
menantunya yang bernama Iskandar Thani (1636 – 1641). Tahun 1641, 
Iskandar Thani digantikan oleh permaisurinya (putri Iskandar 
Muda). Permaisuri dan pengganti-penggantinya kurang cakap dalam 
menghadapi kelicikan VOC yang telah merebut Malaka (1641). Pada tahun 1681, Aceh terpaksa mengadakan hubungan dengan VOC. Sejak saat itu Kerajaan Aceh semakin dipersempit oleh VOC.
Sumber : https://sijai.com